Sabtu, 04 April 2015

Bukti Penyimpangan Pemerintah terhadap Ideologi Pancasila dan Undang Undang Dasar

Bukti Kegagalan ( Penyimpangan ) Orde Lama,Orde Baru dan Reformasi

Orde lama merupakan konsep yang biasa dipergunakan untuk menyebut suatu periode pemerintahan yang ditandai dengan berbagai penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945. Kegagalan konstituante dalam merumuskan undang – undang dasar baru dan ketidakmampuan menembus jalan buntu untuk kembali ke UUD 1945, telah mendoronng Presiden soekarno pada tanggal 5 juli mengeluarkan “Dekrit Presiden”. Tindak lanjut dari dekrit presiden tanggal 5 juli 1959 adalah pembentukn cabinet baru yang diberi nama Kabinet Karya. Dalam prakteknya (atau masa Orde Lama), lembaga – lembaga Negara yang ada belum dibentuk berdasarkan UUD 1945sehingga sifatnya masih sementara.


Dalam masa ini, Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif dan pemegang kekuasaan legislative (bersama – sama dengan DPRGR) telah menggunakan kekuasaannya dengan tidak semestinya. Penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945 terus berlangsung. Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963 tentang pengangkatan presiden seumur hidup jelas bertentangan dengan UUD 1945. pendek kata, periode pemerintahan antara tahun 1959-1965 ditandai oleh berbagai penyelewengan wewenang dan penyimpangan tarhadap pancasila dan UUD 1945 sehingga disebut sebagai masa orde lama. Hampir semua kebijaksanaan yang dikeluarkan pemerintah sangat menguntungkan PKI.

Inilah Bukti Kegagalan ( Penyimpangan ) Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi

Kegagalan (Penyimpangan) Sistem Pemerintahan Orde Lama

- MPRS mengangkat ir.Soekarno sebagai presiden seumur hidup
- Penyimpangan ideologis, konsepsi Pancasila berubah menjadi NASAKOM (nasionalis, agama, komunis)
- Kaburnya politik luar negeri yang bebas aktif menjadi "politik poros-porosan" (mengakibatkan indonesia keluar dari PBB)
- DPR hasil pmlu 1955 dibubarkan presiden
- Hak budget DPR tidak brjln lagi stlh th 1960

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.

Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.

Kegagalan (Penyimpangan) Sistem Pemerintahan Orde Baru

- Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
- Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
- Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
- Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
- Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
- Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
- Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
- Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel
- Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius"
- Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
- Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti hancur.

Kegagalan (Penyimpangan) pada masa Reformasi

- Belum terlaksananya kebijakan pemerintahan Habibie karena pembuatan perudang-undangan menunjukkan secara tergesa-gesa, sekalipun perekonomian menunjukkan perbaikan dibandingkan saat jatuhnya Presiden Soeharto.
- Kasus pembubaran Departemen Sosial dan Departemen Penerangan pada masa pemerintahan Abdurachman Wahid, menciptakan persoalan baru bagi rakyat banyak karena tidak dipikirkan penggantinya.
- Ada perseteruan antara DPR dan Presiden Abdurachman Wahid yang berlanjut dengan Memorandum I dan II berkaitan dengan kasus “Brunei Gate” dan “Bulog Gate”, kemudian MPR memberhentikan presiden karena dianggap melanggar haluan negara.
- Baik pada masa pemerintahan Abdurachman Wahid maupun Megawati, belum terselesaikan masalah konflik Aceh, Maluku, Papua, Kalimantan Tengah dan ancaman disintegrasi lainnya. 
- Belum maksimalnya penyelesaian masalah pemberantasan KKN, kasus-kasus pelanggaran HAM, terorisme, reformasi birokrasi, pengangguran, pemulihan investasi, kredibilitas aparatur negara, utang domestik, kesehatan dan pendidikan serta kerukunan beragama

Bentuk- Bentuk Penyimpangan

Bentuk- Bentuk Penyimpangan Terhadap UUD 1945 dari Masa Orde Lama Sampai UUD S 1945
Penyimpangan pada awal kemerdekaan banyak, antara lain:
1. Keluarnya Maklumat Wakil Presiden Nomor X tanggal 16 Oktober 1945 yang mengubah fungsi KNIP dari pembantu menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislative dan ikut serta menetapkan GBHN sebelum terbentuknya DPR, MPR, dan DPA.
2. Keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 yang mengubah sistem pemerintahan presidensial menjadi sistem pemerintahan parlementer.
Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, ada begitu banyak penyimpangan konstitusi. Adapun bentuk-bentuk penyimpangan UUD 1945 pada masa Orde Lama, misalnya:
1. Kekuasaan Presiden dijalankan secara sewenang-wenang, hal ini terjadi karena kekuasaan MPR, DPR, dan DPA yang pada waktu itu belum dibentuk dilaksanakan oleh Presiden.
2. MPRS menetapkan Oresiden menjadi Presiden seumur hidup, hal ini tidak sesuai dengan ketentuan mengenai masa jabatan Presiden.
3. Pimpinan MPRS dan DPR diberi status sebagai menteri, dengan demikian, MPR dan DPR berada dibawah Presiden.
4. Pimpinan MA diberi status menteri, ini merupakan penyelewengan terhadap prinsip bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka.
5. Presiden membuat penetapan yang isinya semestinya diatur dengan undang-undang (yang harus dibuat bersama DPR), dengan demikian Presiden melampaui kewenangannya.
6. Pembentukan lembaga negara yang tidak diatur dalam konstitusi, yaitu, Front Nasional.
7. Presiden membubarkan DPR; padahal menurut konstitusi, Presiden tidak bisa membuabarkan DPR.
Sedangkan, bentuk-bentuk penyimpangan UUD 1945 pada masa Orde Baru meliputi, antara lain:
1. Terjadi pemusatan di tangan Presiden, sehingga pemerintahan dijalankan secara otoriter.
2. Berbagai lembaga kenegaraan tidak berfungsi sebagaimana mestinya, hanya melayani keinginan pemerintah (Presiden).
3. Pemilu dilaksanakan secara tidak demokratis, pemilu hanya menjadi sarana untuk mengukuhkan kekuasaan Presiden, sehingga Presiden terus menerus dipilih kembali.
4. Terjadi monopoli penafsiran Pancasila, ditafsirkan sesuai keinginan pemerintah untuk membenarkan tindakan-tindakannya.
5. Pembatasan hak-hak politik rakyat, seperti hak berserikat, berkumpul, dan berpendapat.
6. Pemerintahan campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman, sehingga kekuasaan kehakiman tidak merdeka.
7. Pembentukan lembaga-lembaga yang tidak terdapat dalam konstitusi, yaitu kopkamtib yang kemudian menjadi Bakorstanas.
8. Terjadi Korupsi Kolusi Napolisme (KKN) yang luar biasa parahnya sehingga bisa merusak segala aspek kehidupan, dan berakibat pada terjadinya krisis multimensi.
Pada Periode 1959-1966
Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, diantaranya:
1. Presiden mengangkat Ketua dan Wakil ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara.
2. MPRS menetapkan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup.
3. Pemberontakan Partai Komunis Indonesia melalui gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia.
Pada Periode 1966-1998
Terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, diantarnya:
1. Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya.
2. Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lainmenyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.

Berbagai penyimpangan terhadap konstitusi-konstitusi di Indonesia, dibedakan atas dua kurun waktu, yaitu:
A.       Sejak ditetapkannya UUD 1945 oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945 sampai berlakunya konstitusi RIS 27 Desember 1949.
1.         Periode 1945-1949
Pada awal kemerdekaan negara Indonesia masih dalam masa peralihan hukum dan pemerintahan, yang bertekad mempertahankan kemerdekaan yang baru diproklamasikan. Segala perhatian ditujukan untuk memenangkan kemerdekaan sehingga dalam pelaksanaan UUD 1945 terjadi penyimpangan-penyimpangan konstitusional.
Sistem pemerintahan belum dilaksanakan sepenuhnya. Pada saat itu, berlaku pasal IV Aturan Peralihan yang menetapkan segala kekuasaan negara dijalankan oleh presiden dengan bantuan Komite Nasional (sebelum MPR, DPR dan DPA dibentuk menurut UUD 1945). Komite Nasional adalah penjelmaan kebulatan tujuan dan cita-cita bangsa untuk menyelenggarakan kemerdekaan Indonesia yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Usaha Komite Nasional adalah:
1)        Menyatakan kemauan rakyat Indonesia untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka
2)        Mempersatukan rakyat dari berbagai lapisan dan jabatan supaya terpadu pada segala tempat di seluruh Indonesia, persatuan kebangsaan yang bulat dan erat;
3)        Membantu menentramkan rakyat dan turut menjaga keselamatan umum;
4)      Membantu pimpinan dalam penyelenggaraan cita-cita bangsa Indonesia dan di daerah membantu pemerintah daerah untuk kesejahteraan umum;
Penyimpangan konstitusional yang terjadi pada awal kemerdekaan yaitu:
1)      Komite Nasional Pusat berubah fungsi dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif yang ikut menentukan Garis-Garis Besar Haluan Negara, atas dasar Maklumat Wakil Presiden Nomor X tanggal 16 Oktober 1945 “Bahwa Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuk MPR dan DPR diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara, serta meyetujui bahwa pekerjaan Komite Nasional Pusat sehari-hari berhubung gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih di antara mereka dan bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat”.
2)  Adanya perubahan sistem kabinet presidensial menjadi cabinet parlementer, setelah dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945. Akibatnya dibentuklah kabinet yang pertama negara RI yang dipimpin Perdana Menteri Sutan Syahri Pemerintahan parlementer tidak berjalan sebagaimana harapan Maklumat Pemerintahan 14 November 1945, karena keadaan politik dan keamanan negara, misalnya penculikan Perdana Menteri Sutan Syahrir 2 Oktober 1946, serangan umum Belanda tahun 1947, dan pemberontakan PKI Madiun. Kejadian ini memaksa presiden untuk mengambil alih kekuasaan menjadi system pemerintahan presidensial.
2.         Periode Konstusi RIS (27 Desember 1949-17 Agustus 1950)
Periode ini ditandai dengan berlakunya negara Republik Indonesia Serikat sebagai akibat perjanjian Konferensi Meja Bundar, yang isinya:
1)        Didirikannya negara Republik Indonesia Serikat.
2)        Pengakuan kedaulatan oleh pemerintah kerajaan Belanda kepada negara Republik Indonesia Serikat.
3)        Didirikannya Uni antara RIS dan kerajaan Belanda.
Berdirinya negara RIS dengan Konstitusi RIS (yang terdiri dari Mukadimah 4 alinea, 6 bab, 197 pasal dan lampiran) sebagai undang-undang dasarnya, menimbulkan penyimpangan, antara lain:
1)        Negara RI hanya berstatus sebagai salah satu negara bagian, dengan wilayah kekuasaan daerah sebagaimana dalam persetujuan Renville dan sesuai dengan bunyi pasal 2 Konstitusi RIS.
2)        UUD 1945 sejak tanggal 27 Desember 1949 hanya berstatus sebagai UUD negara bagian RI.
3)        Demokrasi yang berkembang adalah demokrasi liberal.
4)        Berlakunya sistem parlementer yaitu pemerintahan bertanggung jawab kepada parlemen (DPR). Pemerintahan dikepalai seorang Perdana Menteri, sedangkan Presiden sebagai Kepala Negara.
5)        Sebagai akibat sistem parlementer, kabinet tidak mampu melaksanakan programnya dengan baik dan dinilai negatif oleh DPR.
6)        Terjadinya pertentangan politik di antara partai-partai politik saat itu (yang bercorak agama, nasionalis, kedaerahan dan sosialis, dengan system multipartai).
Negara bagian bukanlah bentuk negara yang diharapkan oleh seluruh rakyat Indonesia, sehingga timbul reaksi rakyat untuk kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Satu persatu negara bagian menggabungkan diri kepada negara RI, yang berpusat di Yogyakarta. Penggabungan negara berdasarkan pasal 44 Konstitusi RIS 1949 dan Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan Wilayah RIS, Lembaran Negara No. 16 Tahun 1950 (mulai berlaku 9 Maret 1950). Akibat penggabungan ini, maka Negara RIS hanya memiliki tiga negara bagian yaitu Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur. Kemudian Negara RI dan RIS (wakil Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur) bermusyawarah untuk mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Musyawarah antara negara RI dan RIS mencapai kata sepakat untuk membentuk negara kesatuan pada tanggal 19 Mei 1950. Kesepakatan itu dituangkan dalam Piagam Persetujuan RI-RIS, yang oleh Dr. Moh.Hatta (pemegang mandat dua negara bagian) dan Mr. A. Halim (pemerintah RI).
Pada tanggal 15 Agustus 1950, menurut pasal 1 UU No. 7 Tahun 1950 ditetapkan perubahan Konstitusi RIS menjadi UUD Sementara Republik Indonesia (dikenal dengan UUDS 50 yang terdiri dari 4 alinea, 6 bab, dan 146 pasal). UUDS 50 ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.
3.         Periode UUDS 1950 (17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959)
Sejak berlakunya UUDS 1950, maka tidak berlaku lagi UUD 1945, karena negara kesatuan tidak mengenal UUD lain. UUD 1945 dikenal sebagai dokumen sejarah sampai dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Ciri pemerintahan pada masa UUDS 1950 adalah:
1)     Berlaku sistem kabinet parlementer, yang menimbulkan tujuh kali pergantian kabinet (dari 1950-1959) yaitu:
a) Kabinet Natsir, (6 September 1950 - 27 April 1951)
b) Kabinet Sukiman, (27 April 1951 - 3 April 1952)
c) Kabinet Wilopo, (3 April 1952 - 30 Juli 1953)
d) Kabinet Ali Sastroamidjoyo, (30 Juli 1953 - 12 Agustus 1955)
e) Kabinet Burhanudin Harahap, (12 Agustus 1955 - 24 Maret 1956)
f) Kabinet Ali Sastroamidjoyo, (24 Maret 1956 - 9 April 1957)
g) Kabinet Djuanda, (9 April 1957 - 10 Juli 1959)
2)      Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat (pasal 83 ayat 1 UUDS 1950).
3) Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk keseluruhan maupun masingmasing untuk bagiannya sendiri-sendiri. (pasal 83 ayat (2) UUDS 1950).
4)     Presiden berhak membubarkan DPR, dengan ketentuan harus mengadakan pemilihan DPR baru dalam 30 hari.
5)   Dilaksanakannya pemilu yang pertama setelah Indonesia merdeka, yaitu pada masa cabinet Burhanudin Harahap (1955). Pemilu dilaksanakan dua kali yaitu:
·           29 September 1955 untuk memilih anggota DPR.
·   15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante. (Konstituante bersama pemerintah petugas membuat rancangan UUD sebagai pengganti UUDS 1950, secepat-cepatnya sebagaimana tertuang dalam pasal 134 UUDS 1949).
6)  Konstituante gagal menetapkan UUD yang tetap sebagai pengganti UUDS 1950. Kegagalan ini dianggap oleh Presiden Soekarno dapat membahayakan keselamatan dan keutuhan bangsa dan negara. Oleh karena itu, dengan dukungan sebagian besar rakyat Indonesia, presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tentang kembalinya kepada UUD 1945 yang terdiri dari Pembukaan UUD 1945; Batang Tubuh 16 bab, 37 pasal, 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan).
B.       Sejak diumumkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai sekarang, yang terbagi atas masa Orde Lama, Orde Baru, dan masa Era Global (Reformasi). Pelaksanaan berlakunya konstitusi-konstitusi di Indonesia (UUD 1945 I, Konstitusi RIS, UUDS 1950, dan UUD 1945 II) telah melahirkan berbagai penyimpangan secara konstitusional dalam kehidupan ketatanegaraan RI. Berikut ini akan diuraikan contoh penyimpangan-penyimpangan itu.
1.         Berbagai Penyimpangan Pada Masa Orde Lama (1959-1965)
Pada masa Orde Lama lembaga-lembaga negara MPR, DPR, DPA dan BPK masih dalam bentuk sementara, belum berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945. Beberapa penyimpangan yang terjadi pada masa Orde Lama, antara lain:
a.    Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif (bersama DPR) telah mengeluarkan ketentuan perundangan yang tidak ada dalam UUD 1945 dalam bentuk penetapan presiden tanpa persetujuan DPR.
b.        Melalui Ketetapan No. I/MPRS/1960, MPR menetapkan pidato presiden 17 Agustus 1959 berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” (Manifesto Politik Republik Indonesia) sebagai GBHN bersifat tetap. Hal ini tidak sesuai dengan UUD 1945.
c.        MPRS mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945, karena DPR menolak APBN yang diajukan oleh presiden. Kemudian presiden membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR), yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
d.     Presiden membubarkan DPR hasil pemilu 1955, karena DPR menolak APBN yang diajukan oleh presiden. Kemudian presiden membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR), yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
e.        Pimpinan lembaga-lembaga negara dijadikan menteri-menteri negara, termasuk pimpinan MPR kedudukannya sederajat dengan menteri. Sedangkan presiden menjadi anggota DPA.
f.              Demokrasi yang berkembang adalah demokrasi terpimpin.
g.          Berubahnya arah politik luar negeri dari bebas dan aktif menjadi politik yang memihak salah satu blok.

Beberapa penyimpangan tersebut mengakibatkan tidak berjalannya sistem sebagaimana UUD 1945, memburuknya keadaan politik, keamanan dan ekonomi sehingga mencapai puncaknya pada pemberontakan G-30-S/PKI. Pemberontakan ini dapat digagalkan oleh kekuatan-kekuatan yang melahirkan pemerintahan Orde Baru.
2.        Berbagai Penyimpangan Pada Masa Orde Baru (1965-1998)
Orde Baru sebagai pemerintahan yang berniat mengoreksi penyelewenangan di masa Orde Lama dengan menumbuhkan kekuatan bangsa, stabilitas nasional dan proses pembangunan, bertekad melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Bentuk koreksi terhadap Orde Lama, yaitu melalui:
a.         Sidang MPRS yang menghasilkan:
1)     Pengukuhan Supersemar melalui Tap. No. IX/MPRS/1966. (Lahirnya Supersemar dianggap sebagai lahirnya pemerintahan Orde Baru).
2)    Penegasan kembali landasan Kebijakan Politik Luar Negeri Republik Indonesia (TAP No. XII/MPRS/1966).
3)        Pembaharuan Kebijakan Landasan Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan (TAP No. XXIII/MPRS/1966).
4)        Pembubaran PKI dan ormas-ormasnya (TAP No. XXV/MPRS/1966).
5) Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno (TAP No. XXXIII/MPRS/1966).
6)    Pengangkatan Soeharto sebagai Presiden sampai dengan terpilihnya Presiden oleh MPR hasil pemilihan umum (TAP No. XLIV/MPRS/1968).
b.         Pembentukan undang-undang oleh Pemerintah bersama DPR terdiri dari:
1)      UU No. 3 Tahun 1967 tentang DPA yang diubah dengan UU No. 4 Tahun 1978.
2)      UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu.
3)      UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
4)      UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA.
5)      UU No. 5 Tahun 1973 tentang Susunan dan Kedudukan BPK.
c.         Pembahasan rancangan undang-undang tentang pemilu yang memutuskan 12 persetujuan, yaitu:
1)      Jumlah anggota DPR tidak boleh dibesar-besarkan.
2)      Ada perimbangan antara wakil dari Pulau Jawa dan luar Jawa.
3)      Diperhatikannya faktor jumlah penduduk.
4)      Ada anggota yang diangkat dan yang dipilih.
5)      Setiap kabupaten dijamin satu wakil.
6)      Persyaratan tempat tinggal calon harus dihapuskan.
7)      Yang diangkat adalah wakil dari ABRI dan sebagian sipil.
8)      Jumlah anggota MPR yang diangkat sepertiga dari seluruh anggota MPR.
9)      Jumlah anggota DPR adalah 460 terdiri dari 360 yang dipilih dan 100 yang diangkat.
10)  Sistem pemilu adalah perwakilan berimbang sederhana.
11)  Sistem pencalonan adalah stelsel daftar.
12)  Daerah pemilihan adalah Daerah Tingkat I.
Di samping koreksi tersebut pemerintahan Orde Baru telah melakukan berbagai penyimpangan, antara lain:
a.         Dalam praktek pemilihan umum, terjadi pelanggaran misalnya:
1)        Terpengaruhnya pilihan rakyat oleh campur tangan birokrasi.
2)        Panitia pemilu tidak independen.
3)        Kompetisi antarkontestan tidak leluasa.
4)        Penghitungan suara tidak jujur.
5)        Kampanye terhambat oleh aparat keamanan/perizinan.
6)        TPS dibuat di kantor-kantor.
7)        Pemungutan suara dilaksanakan pada hari kerja.
8)        Pemilih pendukung Golkar diberi formulir A-B, 5 sampai 10 lembar seorang.
b.         Di bidang politik, antara lain:
1)   Ditetapkannya calon resmi partai politik dan Golkar dari keluarga presiden atau yang terlibat dengan bisnis keluarga presiden, dan calon anggota DPR/MPR yang monoloyalitas terhadap presiden (lahirnya budaya paternalisti /kebapakan dan feodal gaya baru).
2)   Tidak berfungsinya kontrol dari lembaga kenegaraan politik dan sosial, karena didominasi kekuasaan presiden/eksekutif yang tertutup sehingga memicu budaya korupsi kolusi dan nepotisme.
3)   Golkar secara terbuka melakukan kegiatan politik sampai ke desa-desa, sedangkan parpol hanya sampai kabupaten.
4)   Ormas hanya diperbolehkan berafiliasi kepada Golkar.
5)   Berlakunya demokrasi terpimpin konstitusional (Eep Saefulloh Fatah, 1997: 26).
c.         Di bidang hukum, antara lain:
1)      Belum memadainya perundang-undangan tentang batasan kekuasaan presiden dan adanya banyak penafsiran terhadap pasal-pasal UUD 1945.
2)  Tidak tegaknya supremasi hukum karena penegak hukum tidak konsisten, adanya mafia peradilan, dan banyaknya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal ini tidak menjamin rasa adil, pengayoman dan kepastian hukum bagi masyarakat.
3) Ada penyimpangan sekurang-kurangnya 79 Kepres (1993-1998) yang dijadikan alat kekuasaan sehingga penyelewengan terlindungi secara legal dan berlangsung lama (hasil kajian hukum masyarakat transparansi Indonesia).
d.        Di bidang ekonomi, antara lain:
1)   Perekonomian nasional sebagaimana diamanatkan pasal 33 UUD 1945 tidak terpenuhi, karena munculnya pola monopoli terpuruk dan tidak bersaing. Akses ekonomi kerakyatan sangat minim.
2)   Keberhasilan pembangunan yang tidak merata menimbulkan kesenjangan antara yang kaya dan miskin serta merebaknya KKN.
3) Bercampurnya institusi negara dan swasta, misalnya bercampurnya jabatan publik, perusahaan serta yayasan sehingga pemegang kekuasaan dan keuntungan menjadi pemenang serta mengambil keuntungan secara tidak adil. Sebagai contoh kasus-kasus Kepres Mobil Nasional, Institusi Bulog, subordinasi Bank Indonesia, dan proteksi Chandra Asri.
4)   Adanya korporatisme yang bersifat sentralis, ditandai oleh urbanisasi besar-besaran dari desa ke kota atau dari daerah ke pusat. Korporatisme ialah sistem kenegaraan dimana pemerintah dan swasta saling berhubungan secara tertutup satu sama lain, yang ciri-cirinya antara lain keuntungan ekonomi hanya dinikmati oleh segelintir pelaku ekonomi yang dekat dengan kekuasaan, dan adanya kolusi antara kelompok kepentingan ekonomi serta kelompok kepentingan politik.
5)   Perkembangan utang luar negeri dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Menurut Dikdik J. Rachbini (2001:17-22) pada tahun 1980- 1999 mencapai 129 miliar dolar AS, yang berarti aliran modal ke luar negeri pada masa ini mencapai angka lebih dari seribu triliun. Sementara kebijakan utang luar negeri tercemar oleh kelompok pemburu keuntungan yang berkolusi dengan pemegang kekuasaan. Kebijakan pemerintah dianggap benar, sedangkan kritik dan partisipasi masyarakat lemah. Kombinasi utang luar negeri pemerintah dengan swasta (yang memiliki utang luar negeri berlebihan) menambah berat beban perekonomian negara kita.
6)   Tahun 1997 Indonesia dilanda krisis ekonomi yang ditandai naiknya harga kebutuhan pokok dan menurunnya daya beli masyarakat. Krisis ini melahirkan krisis politik, yaitu ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Soeharto. Krisis ekonomi yang berkepanjangan, besarnya utang yang harus dipikul oleh negara, meningkatnya pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan sosial, menumbuhkan krisis di berbagai bidang kehidupan. Hal ini mendorong timbulnya gerakan masyarakat terhadap pemerintah, yang dipelopori oleh para mahasiswa dan dosen. Demonstrasi besar-besaran pada tanggal 20 Mei 1998 merupakan puncak keruntuhan Orde Baru, yang diakhiri dengan penyerahan kekuasaan dari Presiden Soeharto kepada B.J. Habibie pada tanggal 21 Mei 1998.
3.        Berbagai Penyimpangan Pada Era Global (Reformasi)
Berbagai penyimpangan telah terjadi selama era Reformasi, antara lain:
a.   Belum terlaksananya kebijakan pemerintahan Habibie karena pembuatan perudang-undangan menunjukkan secara tergesa-gesa, sekalipun perekonomian menunjukkan perbaikan dibandingkan saat jatuhnya Presiden Soeharto.
b.    Kasus pembubaran Departemen Sosial dan Departemen Penerangan pada masa pemerintahan Abdurachman Wahid, menciptakan persoalan baru bagi rakyat banyak karena tidak dipikirkan penggantinya.
c.  Ada perseteruan antara DPR dan Presiden Abdurachman Wahid yang berlanjut dengan Memorandum I dan II berkaitan dengan kasus “Brunei Gate” dan “Bulog Gate”, kemudian MPR memberhentikan presiden karena dianggap melanggar haluan negara.
d.    Baik pada masa pemerintahan Abdurachman Wahid maupun Megawati, belum terselesaikan masalah konflik Aceh, Maluku, Papua, Kalimantan Tengah dan ancaman disintegrasi lainnya.
       e.         Belum maksimalnya penyelesaian masalah pemberantasan KKN, kasus-kasus pelanggaran   HAM, terorisme, reformasi birokrasi, pengangguran, pemulihan investasi, kredibilitas aparatur negara, utang domestik, kesehatan dan pendidikan serta kerukunan beragama

Analisis dari Bukti Penyimpangan Pemerintah terhadap Ideologi Pancasila dan Undang Undang Dasar
  Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara merupakan kesepakatan politik para pendiri ketika negara Indonesia didirikan. Namun dalam perjalanan panjang kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila sering mengalami berbagai deviasi dalam aktualisasi nilai-nilainya. Deviasi pengamalan Pancasila tersebut bisa berupa penambahan, pengurangan, dan penyimpangan dari makna yang seharusnya. Walaupun seiring dengan itu sering pula terjadi upaya pelurusan kembali.
            Pancasila dan UUD 1945 dalam mengatur dan menjalankan kehidupan negara. Namun sejak Nopember 1945 sampai sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pemerintah Indonesia mengubah haluan politiknya dengan mempraktikan sistem demokrasi liberal. Pemerintah Indonesia menjadi pro Liberalisme.Deviasi ini dikoreksi dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.Dengan keluarnya Dekrit Presiden ini berartilah haluan politik negara dirubah. Puncaknya adalah peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini menjadi pemicu tumbangnya pemerintahan Orde Lama (Ir.Soekarno) dan berkuasanya pemerintahan Orde Baru (Jenderal Suharto). Pemerintah Orde Baru berusaha mengoreksi segala penyimpangan yang dilakukan oleh masa sebelumnya dalam pengamalan Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah Orde Baru merubah haluan politik yang tadinya mengarah ke posisi Kiri dan anti Barat menariknya ke posisi Kanan. Namun regim Orde Barupun akhirnya dianggap penyimpang dari garis politik Pancasila dan UUD 1945, Ia dianggap cenderung ke praktik Liberalisme-kapitalistik dalam menggelola negara. Pada tahun 1998 muncullah gerakan reformasi yang dahsyat dan berhasil mengakhiri 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Setelah tumbangnya masa Orde Baru telah muncul 4 masa Pemerintahan Reformasi sampai saat ini. Pemerintahan-pemerintahan masa Reformasi ini semestinya mampu memberikan koreksi terhadap penyimpangan dalam mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dalam praktik bermasyarakat dan bernegara yang dilakukan oleh Orde Baru.
2.        Dinamika aktualisasi nilai Pancasila 
Pada tahun 1995 Moerdiono menunju adanya 3 tataran nilai dalam ideologi pancasila. Berikut adalah 3 tataran nilai itu.
1.      Nilai dasar.
Nilai dasar merupakan suatu nilai yang bersifat abstrak dan tetap yang terlepas dari adanya pengaruh perubahan waktu. Dari segi kandungan nilainya, maka nilai dasar berhubungan dengan eksistensi sesuatu negara  yang mencakup cita-cita, tujuan, tatanan dasar dan ciri khasnya. Nilai dasar Pancasila ditetapkan oleh para pendiri negara. Nilai dasar Pancasila tumbuh baik dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan yang telah menyengsarakan rakyat, maupun dari cita-cita yang ditanamkan dalam agama dan tradisi tentang suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan kebersamaan, persatuan dan kesatuan seluruh warga masyarakat.
2.      Nilai Instrumental
Nilai instrumental merupakan suatu nilai yang bersifat kontekstual yang merupakan penjabaran dari nilai dasar. Nilai ini perlu disesuaikan dengan tuntutan zaman. Dari kandungan nilainya,  nilai instrumental merupakan kebijaksanaan, strategi, organisasi, sistem, rencana, program, bahkan juga proyek-proyek yang menindaklanjuti nilai dasar tersebut. Lembaga negara yang berwenang menyusun nilai instrumental ini adalah MPR, Presiden, dan DPR.
3.      Nilai
Nilai praksis merupakan nilai yang terkandung dalam kehidupan sehari hari berupa cara bagaimana rakyat melaksanakan dan mengamalkan nilai nilai yang terkandung dalam pancasila. Jika ditinjau dari segi pelaksanaan nilai yang dianut, maka sesungguhnya pada nilai praksislah ditentukan tegak atau tidaknya nilai dasar dan nilai instrumental itu. Bagi suatu ideologi, yang terpenting adalah bukti pengamalannya atau aktualisasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Suatu ideologi dapat mempunyai rumusan yang amat ideal dengan ulasan yang amat logis serta konsisten pada tahap nilai dasar dan nilai instrumentalnya. Akan tetapi, jika pada nilai praksisnya rumusan tersebut tidak dapat diaktualisasikan, maka ideologi tersebut akan kehilangan kredibilitasnya.
3.           Perubahan dan Pembaharuan
Pembaharuan dan perubahan bukanlah melulu bersumber dari satu sisi saja, yaitu akibat yang timbul dari dalam, melainkan bisa terjadi karena pengaruh dari luar. Terjadinya proses perubahan dinamika dalam aktualisasi nilai Pancasila tidaklah semata-mata disebabkan kemampuan dari dalam (potensi) dari Pancasila itu sendiri, melainkan suatu peristiwa yang terkait  dengan kenyataan yang lain. Dinamika aktualisasi Pancasila bersumber pada aktivitas di dalam menyerap atau menerima dan menyingkirkan atau menolak nilai-nilai atau unsur-unsur dari luar (asing). Contoh paling jelas dari terjadinya perubahan transformatif dalam aktualisasi nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, adalah empat kali amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan MPR pada tahun 1999, 2000, 2001, dan tahun 2002.
4.        Dinamika Pelaksanaan Undang Undang 1945
A.          Masa awal kemerdekaan
         Sejak berlakunya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, maka mulai saat itu berlaku tata hokum baru yang bersumber dari proklamasi kemerdekaan Indonesia dan tidak berlaku lagi tata hukum lama. Pasal II Aturan peralihan menyatakan “ Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku sebelum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini ”. Intinya pada masa ini ketetapan semua peraturan perundang-undangan bernilai sah sebelum adanya Undang-Undang baru.
B.            Masa Orde Lama
Pada bulan September 1955 dan Desember 1955 diadakanya pemilihan umum untuk membuat suatu rancangan Undang-Undang Dasar sebagi pengganti UUDS 1950. Dengan adanya permasalahan pada masa ini, Presiden menyarankan untuk kembali lagi kepada Undang-Undang Dasar 1945. Sehubung dengan tidak didapatkannya hasil kemufakatan bersama, maka konstitut mengadakan pemungutan suara guna mendapatkan hasil untuk penggantian UUDS 1950 atau tetap kembali kepada UUD 1945. Hasil yang didapat setelah 3 kali pemungutan suara adalah adalah banyaknya dewan yang memilih untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Sehubungan dengan itu, Presidek mengeluarkan Dekrit yang berisikan tentang pembubaran konstitue dan menetapkan UUD 1945 sebagai penggati UUDS 1950.
C.     Masa Orde Baru
Pada masa orde baru menceritakan tentang gagalnya perebutan kekuasaan oleh G-30-S/PKI. Dari semua ini didapatkan dalangnya yaitu PKI. Berdasarkan kejadian itu, Ir Soekarno memerintahkan kepada Jendral Soeharto untuk mengikuti keinginan rakyat yang telah dipelopori dengan adanya tritura (tiga tuntutan rakyat). Dengan kejadian ini, maka secara resmi telah dibubarkan PKI beserta ormas-ormasnya.
D.    Masa Globalisasi
Setelah berakhirnya pemerintahan Soeherto, terbukalah para pakar untuk oerlunya membicarakan Undang-Undang Dasar 1945 agar dilakukan amandemen. Ketetapan pada Undang-Undang dasar 1945 tetap berlangsung sampai saat ini walaupun kadang kala perlu adanya perubahan isi dari Undang-Undang yang dikarnakan perlu untuk mengikuti perkembangan zaman namun tetap pada jalurnya yaitu ideology yang berlandaskan nilai-nilai dari Pancasila.

6 komentar: